Label aktivis kampus biasanya melekat pada mereka yang memiliki jabatan politik dalam kepengurusan organisasi kampus, baik legislatif kampus seperti : Senat Mahasiswa (Sema, DPM), Eksekutif kampus (DEMA, BEM, HMJ, HMPS), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Ekstra kampus (PMII, HMI, IMM, GMKI, GMNI, GMKI, dan sejenisnya), atau komunitas atau organisasi lain di dalam atau diluar kampus
Dinamakan jabatan politik karena ketuanya dipilih berdasarkan pemilihan (yang serba pemilihan sejatinya adalah politik) maka pengurusnya pun artinya jabatan politik. Sederhananya mungkin demikian
Nah, jika menjadi pimpinan dalam organisasi basis mahasiswa yaitu ketua ternyata ada sebuah gejala khusus yang akan melanda ketika jabatan sudah di tanggalkan (Reorganisasi). Karena sebuah organisasi dikatakan sehat adalah yang bisa melakukan reogranisasi sesuai dengan waktunya maka kehilangan jabatan adalah sebuah keniscayaan. Gejala ini bisa menyebabkan kegundahan dan kebingungan pasca jabatan di tanggalkan
Gejala apakah itu?
Adalah gejala Post Power Syndrome. Istilah ini sering disebutkan di kampus saya, entah di kampus kalian ada atau tidak. Istilah ini merujuk pada istilah “post” yang sederhananya biasanya di artikan sebagai “masa sesudah” seperti penggunaan dalam kata “postmodern”. “Power” kekuatan dan “Syndrom”. Jadi “Post Power Syndrome” adalah sindrom setelah kehilangan kekuatan/Kepemimpinan sebuah organisasi
Apakah Gejala Post Power Syndrome itu?
Post Power Syndrome adalah gejala yang biasanya dialami oleh pejabat penting dalam sebuah organisasi, wabil khusus seorang ketua. Karena seorang ketua memiliki kekuatan yang penuh (Full Power) dalam menjalankan roda organisasi
Dalam kepemimpinan seorang ketua, mereka di tuntut untuk banyak memikirkan bagaimana organisasi yang dipimpinnya harus memiliki pergerakan yang progresif. Kondisi ini memaksa mereka dalam kondisi anti kemapanan (karena organisasi kampus kebanyakan non-budgeting/ dana terbatas) sehingga kepala dituntut untuk kreatif agar organisasi tetap berjalan
Masa menjadi ketua (biasanya 1 tahun) membuat para ketua organ kampus harus banting tulang dan memeras keringat (semoga tidak terlalu melebih-lebihkan) demi organisasinya.
Nah, jika jabatan sudah ditanggalkan maka mereka para ketua akan merasa dirinya tidak progresif, pemikiran tak tersalurkan, hasrat nalar pengkaderannya tak tersampaikan, kekosongan otak, dan lainnya yang membuat mereka merana. Masa inilah pertanda bahwa “post power syndrome” sedang menyerang
Padahal ketika masih memimpin sebuah organisasi, mereka ingin segera menyelesaikan tugas agar kepala mereka bisa dingin dan menikmati hidup sebagai mahasiswa normal (berarti ketua tidak normal). Namun, setelah jabatan menghilang mereka merasa kehilangan dan merana karenanya
Kondisi post power syndrome akan membuat keadaan merana seorang eks-ketua organisasi kampus. Jika kondisi ini tidak di sikapi dengan baik, maka mereka bisa tetap mengambil power ketua yang baru dan seolah banyak mengkritiknya, seolah dirinya-lah yang paling benar. Kadang ketua yang baru akan merasa sangat ter-intervensi
Untuk menghindari gejala “post power syndrome” maka sebaiknya ciptakan ruang baru untuk meyalurkan gagasan, ide, dan semangat progresifitas pemikiran. Jika tidak maka ke-Bete-an aka menghinggapimu para ketua
Atau, jangan terlalu serius dalam menjalankan sebuah organisasi sehingga kamu seolah tak memiliki power dalam kepimpinan, maka post power syndrome tak akan menghinggapimu, karena post power syndrome hanya berlaku bagi mereka yang pernah full power, setidaknya pernah merasa. Ini sangat tidak direkomendasikan kecuali memang kamu tidak bertanggung jawab