Ibu, dua hari ini jagad maya sedang ramai dengan yang namanya ‘om telolet om’. Tapi entah kenapa, aku tidak begitu peduli dengan itu. Padahal, di setiap bepergian, teman-temanku, sahabat-sahabat dan orang lain yang tidak kukenal pun ramai membicarakannya. Sebentar-sebentar ‘telolet’ katanya. lagi-lagi ‘telolet’.
Mereka menjadi sedemikian sibuk mencari tahu apa sebenarnya ‘om telolet om’ itu, atau menjadi sedemikian sibuk sebagai agen promosi ‘om telolet om’. Namun lain dari itu, sembari melihat tingkah laku mereka aku justru sibuk memikirkanmu, bu. Bukan sebab ini hari adalah hari ibu (karena aku baru tahu kalau ini hari ibu pagi tadi dari sebuah postingan, jadi mungkin kebetulan saja). Aku memikirkanmu karena waktu sudah menunjukkan akhir tahun, dan aku belum pulang menemuimu lagi sejak enam bulan terakhir. Akhirnya aku jadi telolet padamu, bu.
Bu, dalam perasaan telolet padamu ini, rasanya aku perlu menyampaikan sesuatu terkait hal ini, bahwa ada seseorang yang memberi tahuku; fenomena ‘om telolet om’ ini adalah sebuah pengalihan issu yang ada di media. Katanya, banyak issu-issu strategis yang seharusnya diketahui masyarakat, namun karena banyaknya kepentingan, jadilah mereka membuat ‘om telolet om’ sebagai konsumsi anyar bagi pengguna (penggila) media sosial. Karena, seperti yang sedikit aku ketahui, peran media sosial (cara kaya berbasis miskin) sekarang mengalahkan peran para stackholder di lingkungan masyarakat seperti ustadz, kiyai, ulama, kepala desa, ketua RT/RW, dan bahkan bapaknya sendiri, yang sudah jelas kecintaan mereka kepada warga dan keluarganya, dan yang juga kecil kemungkinan ada keinginan untuk menyesatkan. Dewasa ini mereka (pengguna dan penggila media sosial) tidak sedikit lebih percaya terhadap apa yang mereka temukan di media sosial itu sendiri.
Namun bu, issu pengalihan issu tersebut belum tentu juga benar. Dewasa ini entah apa yang benar, semuanya abu-abu, aku pun jadi telolet sendiri.
Lain lagi ceritanya dari pengalihan issu yang menggunakan ‘om telolet om’, di belahan pemikiran yang lain (walau masih di sekitar jagad maya), landscape 212 masih santer di gaungkan. Angka sakti milik Wiro Sableng tersebut sekarang menyasar ke ‘om telolet om’. Jika aku menaksir, 212 ini adalah satu makhluk yang sangat up to date keberadaannya, dimanapun Ia singgah akan selalu tahu trend apa yang sedang ngehitz di masyarakat. Lagi-lagi aku telolet.
Masih dengan hal yang sama, bu, tadi pagi handphone sederhana yang kau belikan untukku berdering tanda ada pesan masuk. Kukira itu darimu, namun ternyata adalah pesan berantai dari seorang teman yang mengkafir-kafirkan ‘om telolet om’. Ditulisnya bahwa ‘Om’ merupakan bahasa Bali kuno yang memiliki arti Tuhan. Sementara ‘Telolet’ adalah bahasa Swahili yang berarti Yahweh. Dan pada intinya, jika kita mengucap ‘Om Telolet Om’ berarti kita sedang menyebut Yahweh Tuhannya orang Yahudi. Atau pada intinya lagi, kita sedang dalam kungkungan Yahudinisasi. Sungguh bu, aku semakin telolet saja. Apalagi pesan tersebut katanya harus disebarkan dan tidak boleh berhenti di HPku ini. Telolet banget.
Oh bu, dengan kondisi berada jauh darimu, bagaimana aku harus menyudahi ke-telolet-an ini. Semua hal yang ada sudah menjadi telolet. Bahkan studiku, semuanya telolet. Bagaimana caranya aku mempertanggungjawabkannya padamu, bu, sungguh sulit, belum lagi jika ditanya pertanggungjawaban di hadapan Allah swt nanti. Ah, Telolet juga kukira.
Bu, lagi-lagi sekarang semuanya telolet, sangat abu-abu, mana yang benar dan baik, atau mana yang salah dan jelek sangat sulit dibedakan, kita hanya bisa menerka-nerka.
Dan akhirnya, demi dirimu, Ibu. Aku akan terus belajar, menyelesaikan studiku, mempelajari banyak ilmu, mencari tahu apa yang belum kuketahui. Hingga pada saatnya nanti, aku tidak lagi telolet, dan bisa membanggakanmu, bu.
Selamat Hari Ibu 2016.