AnNajahNews, Purwokerto – “Kami berharap Pak Ahmad Mustaqim sebagai anggota dewan bisa memotivasi para santri agar manfaat dan maslahat bagi masyarakat. Kiranya berbagi tips meraih sukses dan pengalaman yang agak unik yang bisa ditularkan kepada santri sebagai pelajaran.”, tutur Dr. KH. Mohammad Roqib, M. Ag selaku Pengasuh Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto tempat berlangsungnya dialog politik kebangsaan bersama Anggota Komisi VIII DPR RI, H. Ahmad Mustaqim, Sabtu malam (31/03).
Pria asal Majenang ini, H. Ahmad Mustaqim merupakan satu dari sembilan bersaudara. Beliau menghabiskan masa pendidikan dasar hingga SMA di kota kelahirannya. Aktif di organisasi sejak duduk di bangku sekolah menengah, Ketua OSIS semasa SMP, dan aktif di salah satu perguruan Pencak Silat di SMA. Alumni Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman (UNSOED) ini adalah seorang aktivis kemahasiswaan. Diantaranya adalah Ketua Koperasi Mahasiswa (KOPMA), Ketua Himpunan Mahasiswa (HIMA), Ketua UKM Karate, dan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNSOED saat S1. Kemudian beliau melanjutkan S2-nya di Universitas Pajajaran, Sumedang, Jawa Barat.
Sempat menjadi Imam di Masjid Besar Majenang, beliau mengatakan, “saya bersyukur orangtua saya ketika SD hingga SMP memaksa saya setiap sore untuk berangkat ke Cidaru, pusat pesantren di Kabupaten Majenang.”
Sebagai pembuka, beliau berbicara mengenai teori self esteem yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik yang bermazhab ke tiga. Banyak berorientasi pada aliran behavioris meskipun tidak meninggalkan aliran Freud dan Gestalt, mengenai bagaimana kita mencoba merancang hidup dan mengaplikasikan sesuai tujuan awal. Bahwa kebutuhan manusia dimotivasi oleh dua dorongan, yakni motif kemunduran dan motif perkembangan, orang yang memiliki penyakit mental akan sulit untuk puas terhadap kebutuhan dasar, bahkan akan merasa kurang terus menerus.
“Apa yang menyebabkan saya berambisi? Saya menemukan satu motivasi besar di salah satu bait syair Kitab ‘Imriti. Bersyukurlah karena kalian selain mendapatkan pendidikan umum di perkuliahan juga mendapatkan pendidikan di pesantren. Karena begitu selesai kuliah, maka keinginan untuk belajar dari nol adalah sulit karena kesempatan belajar sangat minim. Jika pada saat itu keinginan untuk belajar baru dimulai, maka kerugian di depan mata”, pesan beliau.
Beliau memaparkan tentang salah satu rumus dalam statistika, Y=μ+y+x, dalam penjelasannya bahwa kontemplasi dengan kita berlandaskan keluarga beragama. Tuturnya, “menurut pendapat saya, segala hal dapat dilihat dari lima hal, cipta, rasa, karsa, cinta dan cita-cita. Kelima ini mengikuti tahapan-tahapan kita dalam masa sekolah.”
Faktor x pertama adalah intelegensi, dimana seseorang hanya belajar dari menuntut ilmu di bangku sekolah. Selanjutnya, x yang kedua adalah selain seseorang belajar secara formal di sekolah, ia juga belajar di pesantren. Maka orang ini akan memiliki dua faktor x dan mendapat nilai plus. Kata beliau, “Orang yang menguasai dan orang yang hanya sekadar belajar (hafal) itu berbeda. Tapi tentunya, orang yang belajar di pesantren dengan sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil yang berbeda dengan orang yang hanya sekadar numpang tidur di pesantren.”
Selanjutnya, faktor x yang ketiga, organisasi. Seseorang yang mengenyam pendidikan sekolah, pesantren dan organisasi akan memiliki nilai lebih. Tentunya ia harus pandai mengatur waktunya dengan baik. Dengan begitu, orang akan belajar bagaimana manajemen waktu yang baik.
Berikutnya adalah faktor x keempat, cinta, faktor x ini berbahaya. Seandainya kita tidak dapat mengelolanya dengan baik, karena faktor x yang satu ini akan memberikan pengaruh yang sangat tipis terhadap keberhasilan. Menjadi faktor motivasi jika kita mampu memanaj dengan baik. Namun juga akan memberi pengaruh terhadap kegagalan, dimana ia justru akan menjadi faktor penghambat kesuksesan seseorang jika tidak dikelola secara tepat.
Kemudian faktor x yang terakhir adalah faktor cita-cita. Pada tahap inilah seseorang harus berani. Jangan sampai kita menjadi produk yang sama ketika memasuki pendidikan dan ketika selesai darinya. “Potensi pribadi kita bisa dikalkulasi dengan otak.”, tutur beliau.
Anggota DPR RI dari fraksi PPP ini juga menyampaikan secara gamblang permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini. Bahwa permasalahan LGBT, yang sedang marak dengan isu-isu transgender. Di Kanada saja, pada 23 Juni 2015, Komisi DPR Amerika membuat undang-undang tentang diperbolehkannya pernikahan sesama jenis. Tidak hanya itu, dua orang profesor di universitas ternama di Indonesia, menyatakan diri sebagai homoseks dan lesbian. Belum lama ini mereka menuntut DPR untuk mengeluarkan undang-undang perlindungan kaum LGBT. Tentunya bukan tidak mungkin undang-undang itu dikeluarkan. Ambil saja contoh, undang-undang tentang minuman keras. Tidak dikeluarkan peraturan pelarangan miras, yang ada hanya peraturan manajemen miras.
Di sisi lain, beliau juga menjelaskan tentang bagaimana hikmah dari peristiwa Isra’ Mi’raj, bahwa pemindahan arah kiblat saja yang diinstruksikan langsung oleh Rasulullah SAW, tidak diikuti oleh keseluruhan jumlah orang muslim saat itu. Sebagian mengikuti, sebagian tetap dalam arah kiblat yang sudah sejak dulu menjadi arah mereka bersembahyang, sebagian yang lain justru kembali kepada kekafiran. Tentu bukan tidak mungkin instruksi yang diberikan oleh pemimpin era sekarang mendapatkan respon yang tidak jauh berbeda.
Terakhir, mengenai cara menghadapi era kontemporer dan tuntutan zaman yang semakin kompleks. Bahwa pentingnya menjaga niat sangat diperlukan. Dalam menjalankan sesuatu, pendekatan dari segi umum dan agama sangat diperlukan. Ketika menjalani sesuatu dan ternyata bergeser dari yang sudah diniatkan sejak awal, maka introspeksi dirilah dengan sabar dan sholat. (Aisyah Khoirunnisa)