Alhamdulillah, sebagai seorang mahasiswa, saat ini Saya bisa mencicipi manis-asam kehidupan dunia perkuliahan yang lain dari kebanyakan orang. Sesuatu yang sangat Saya syukuri dan banggakan, karena masih sangat sedikit anak muda yang notabene anak kampung bisa mengenyam pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Boro-boro mencicipi, bahkan melihat gedung kampusnya saja sepertinya tidak pernah.

Saya adalah anak yang lahir dan hidup di kampung, satu hal yang selalu Saya syukuri. Karena dari latar belakang itulah, sampai detik ini Saya tidak pernah heran dan tertarik dengan trend yang cukup banyak digandrungi mahasiswa lain, semacam My trip my adventure. Semua yang mereka gandrungi adalah hal biasa dan wajar bagi Saya. Hijaunya dedaunan, gunung yang menjulang, dan aliran air sungai yang deras, semuanya bisa dengan mudah Saya jumpai di belakang rumah, dan itu adalah pekarangan yang menjadi tempat bermain dengan teman-teman tiap harinya.

Suatu waktu, Saya terkadang heran sendiri, kenapa banyak  sekali orang yang tertarik dan mendadak menjadi petualang My trip my adventure”. Padahal selama yang Saya ketahui, di kampus tempat Saya kuliah juga banyak anak kampung. Tapi, masih banyak saja yang termakan trend. Anak-anak muda rela susah-payah mencoba track pegunungan dengan medan yang dikatanya curam dan menantang. Saya pun jadi bertanya, Mau susah-payah dan jauh-jauh pergi ke gunung, memangnya masjid sebelah rumah sudah berapa kali di kunjungi?

Namun, terlepas dari itu semua, menjadi seorang mahasiswa membuat Saya mendapatkan banyak hal. Terlebih, Saya kuliah dengan beasiswa penuh 100%, termasuk uang jajan, tempat tinggal, makan dan kebutuhan lainnya. Dengan semua fasilitas tersebut, saya juga tidak dituntut untuk mendapatkan nilai terbaik serta tidak dibatasi harus lulus tepat waktu. Sebuah anugerah yang sangat luar biasa.

Untuk mendapatkan beasiswa itu, Saya pun tidak memerlukan syarat yang neko-neko dan seleksi ketat yang bertele-tele. Tawaran mendapatkan beasiswa tersebut tiba-tiba Saya terima, dan dari itulah akhirnya Saya bisa merasakan menjadi anak kuliahan. Status sosial yang begitu mentereng di kampung.

Perlu diketahui, di kampung tempat tinggal Saya, jika ada seseorang berstatus sebagai mahasiswa, maka tidak ada yang peduli dengan jurusan apa yang ia ambil. Masyarakat kampung akan menganggap mahasiswa adalah orang yang serba bisa dan maha segalanya. Jadi, ketika ada kegiatan yang akan diselenggarakan, maka kamilah (mahasiswa) yang akan selalu ditunjuk untuk menjadi ketua panitia kegiatan tersebut. Padahal sebenarnya, Saya pun tidak mengambil jurusan yang mempelajari cara menghandle kegiatan semacam Event Organizer (EO). Namun apa daya, dengan sudah terlanjur memegang status ini, Saya selalu menerima itu dengan tabah.

Berbekal beasiswa yang saya dapatkan dengan pembiayaan penuh 100% sampai masa studi Saya berakhir, Alhamdulilah saat ini Saya sedang dalam proses menyelesaikan tugas akhir. Dimana, jika tugas tersebut berhasil saya selesaikan, berarti Saya akan berhak memakai baju toga. Mimpi itu sudah saya tempelkan di dinding kamar kos “Baju Toga Yang Dirindukan”.

Sedikit cerita mengenai tawaran beasiswa 100% penuh yang saya dapatkan, pada proses interview, hanya ada satu pertanyaan yang ditujukan pada Saya: “Zen, kamu boleh memilih kuliah dimanapun semaumu, yang penting kamu kuliah, dan yang paling penting biaya semsternya murah”. Begitulah orang tua Saya memberikan satu pertanyaan yang langsung Saya Jawab dengan “YA”. Dan, sampai detik ini, beasiswa tersebut masih Saya terima, sampai waktunya nanti akan Saya kembalikan padanya dengan rasa syukur dan kebanggaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here