Selamat Datang Sarjana Karbitan!
Selamat datang, selamat datang dan selamat menempuh hidup baru!
Sekarang mari kita bertanya, mau jadi apakah setelah jadi sarjana? Dan mari langsung kita jawab: jadi anak mami, duduk manis di rumah sambil duduk depan tipi, terus mata mlototin Hape Andro keluaran teranyar. Di layarnya tertulis “Lowongan Pekerjaan!”
Dahulu saya sempat berpikiran revolusioner, sama seperti ketika bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Optimistis dan penuh harapan. Saya dan bung Karno benar-benar meiliki pemikiran yang sama terkait hal ini. Punya harapan besar akan masa depan. Masa depan diri ini dan masa depan bangsa serta agama. Dan itu dulu, lalu sekarang, semuanya tinggal impian, bangun sudah tidurnya, dan kita hanya bisa melongo.
Dalam beberapa kasus, berdasarkan pengalaman pribadi dan serta cerita-cerita orang di tipi dan surat kabar (ditambah sedikit dari media online) sebagian besar para sarjana muda yang masih gres, kerjaan pertama yang mereka dapatkan adalah melongo. Selanjutnya kerjaan mereka yang kedua dan seterusnya adalah kerja serabutan. Dalam artian bekerja apa saja asal tidak malu sama tetangga. Gak sesuai dengan jurusan? Gak mikir dan gak urus.
Fenomena seperti ini memang bukanlah hal yang baru, bisa juga disebut sudah mendarah daging. Namun ini adalah budaya yang harus benar-benar dilestarikan, agar Indonesia tetap Indonesia, agar batik tetap batik, dan reog ponorogo tetaplah reog ponorogo, lestari.
Pendidikan di Indonesia kadangkala atau seringkali jadi semacam wacana belaka. Kita sudah banyak mengeluarkan ludah hanya untuk me-ngomong-kan pendidikan. Bicara sini dan bicara sana, mirip seperti supir angkot atau setrika. Dan hasilnya jelas, ribuan sarjana karbitan diedarkan setiap tahunnya ke seluruh penjuru Indonesia Raya. Mereka beranakpinak layaknya kodok.
Lalu apa hasilnya? melongo.
Selang beberapa bulan setelah perhelatan wisuda yang begitu meriah dan menggembirakan. Demo terjadi di ibu kota negeri dan beberapa kota besar lainnya. “Kami menuntut lowongan pekerjaan di perluas! Beri kami pekerjaan, wahai pemerintah!!!” Teriaknya lantang, begitu lantang, dan sangat lantang. Salah satu pendemo mengaku sebagai Sarjana Karbitan yang masih nganggur.
Dan, mari sekarang kita lupakan itu sejenak, kita rehat, ngopi dulu.
Sekarang mari kita bicara sebentar tentang esensi. Dan saya akan memulainya dengan sebuah pertanyaan mendasar. Apa tujuan masuk perguruan tinggi?
90% responden dari hasil survei yang tidak pernah dilakukan, menjawab: Untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dan walaupun survei ini belum pernah dilakukan, namun datanya sangat valid. Kemudian selebihnya menjawab, untuk mencari ilmu. Dan ini adalah jawaban retoris belaka, Bullshit!
Selama proses perkuliahan pun begitu, tidak ada beda, sama bullshitnya. Jika tidak percaya, mari kita survei dan berhitung, silahkan lakukan di rumah masing-masing.
Dilema Antara Berkarya dan Bekerja
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang tidak ramah karya. Para pembuat karya sangat sulit menemukan rumahnya disini. Karena sebab itu, kemudian mereka banyak yang lari dari kampung halaman, mencari rumah di negeri orang.
Tidak hanya tidak ramah karya, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang tidak ramah pekerja, bukti nyatanya adalah masih banyak pengangguran.
Sudah sekolah capek-capek, ngeluarin banyak uang, hasilnya cuma mlongo.
Namun tenang saja, Indonesia masih ramah dengan yang namanya kerabat dan uang. Jika anda memiliki keduanya, alhasil anda tidak perlu capek-capek berkarya dan mencari kerja. Semuanya sudah disediakan oleh oknum negara.
Jadi, sudahkah anda mendapatkan pekerjaan, wahai sarjana karbitan?